Sunday, May 22, 2011

CANDU KEKUASAAN

Oleh : Prof. Dr. H. Musa Asy’arie 
Hiruk pikuk politik yang menguasai jagat perpolitikan kita selama ini masih terfokus pada sengitnya perebutan kekuasaan antarelite politik. Perebutan kekuasaan terus berlangsung setiap saat, dan setiap ada momen politik yang dapat dimanfaatkan untuk menjatuhkan seorang penguasa, maka akan segera dimanfaatkan untuk membuka peluang bagi dirinya masuk dalam ranah kekuasaan politik yang ada.
Dan ini semua terjadi dalam setiap bidang kehidupan politik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, dan terjadi dalam segala tingkatannya, baik di daerah maupun di pusat. Bahkan, terjadi dalam berbagai aspek kehidupan kita, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun agama.
Nafsu politik untuk menjatuhkan lawan politik terus berkembang biak dan berkecamuk dalam pikiran seseorang yang terus-menerus bekerja, dan akibatnya kekuatan pikiran politik yang ada hanya tertuju bagaimana caranya menjatuhkan lawan itu, tidak peduli bagaimana proses dan akibatnya. Nafsu politik yang tak terkontrol oleh etika politik kemanusiaan akan berakibat destruksi sosial yang masif.

Sakralisasi kekuasaan

Kekuasaan memberikan peluang bagi seseorang yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan segala-galanya dalam kehidupannya; kehormatan, status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. Mungkin karena begitu sentralnya kekuasaan dalam kehidupan masyarakat kita, muncul anggapan bahwa kekuasaan itu pulung, anugerah gaib yang datang dari langit, yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, dan karenanya bersifat sakral.
Sakralisasi kekuasaan berakibat bahwa kekuasaan itu cenderung tidak pernah salah sehingga kekuasaan bisa melakukan segala-galanya. Kekuasaan menjadi absolut. Akan tetapi, kekuasaan itu akan jatuh pada saatnya, melalui suatu krisis politik yang destruktif yang mengacaukan kehidupan masyarakat, dan pada saat itulah si pulung dari langit itu terlepas, dan akan jatuh pada seseorang yang ditunjuk secara gaib untuk mendapatkannya, dan begitu seterusnya. Terjadi perputaran jatuh bangun kekuasaan, yang semuanya tak terlepas dari campur tangan gaib.
Dalam masyarakat yang percaya adanya pulung, tanda-tanda memudarnya kekuasaan dari langit yang ada pada diri seseorang yang sedang berkuasa biasanya adalah jatuhnya wibawa penguasa yang digerogoti oleh kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya, melalui berbagai musibah dan bencana.
Setiap bencana dan musibah yang terjadi selalu akan dikaitkan dengan suara langit yang mulai memberikan peringatan kepada seorang penguasa, untuk melakukan introspeksi diri dan kekuasaannya, ia harus menyadari ada sesuatu yang salah yang terjadi dalam kekuasaannya dan segera ambil tindakan untuk mengubah kebijakan dan tindakannya.
Seorang penguasa tak perlu menepis habis-habisan anggapan bahwa musibah dan bencana yang terjadi tak ada kaitan sama sekali dengan kekuasaannya, apalagi mengatakan musibah itu bencana alam yang bisa terjadi karena mekanisme alamiah. Faktanya, bencana dan musibah tidak pernah bisa dilepaskan dari perbuatan tangan manusia. Secara spiritual, alam pun akan murka jika bencana dan musibah selalu dituduhkan pada dirinya.

Kecanduan kekuasaan

Kekuasaan itu nyandu. Seorang penguasa yang terus-menerus berkuasa akan kecanduan kekuasaan, yang membuat hidupnya menjadi tidak normal jika tidak menggenggam kekuasaan. Ketergantungan pada kekuasaan membuat seorang penguasa menjadi terlalu sensitif pada kekuasaannya. Kritik dan sikap yang berlawanan dengan kekuasaannya yang datang dari sebagian kelompok masyarakat akan dipandangnya sebagai usaha menjatuhkan kekuasaannya. Seorang penguasa jadi paranoid.
Kecenderungan nyandu kekuasaan bisa terjadi pada siapa pun dan terjadi dalam setiap jenjang kehidupan, dan dalam berbagai aspek kehidupan, baik di tingkat nasional maupun lokal, bahkan internasional. Seorang tokoh organisasi yang telah kecanduan kekuasaan tidak legowo digantikan oleh orang lain, dan kalau- pun harus digantikan, selalu ingin yang menggantikan masih berkaitan, untuk menjaga kepentingannya. Hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi pemerintahan sehingga pergantian pejabat dalam jajaran birokrasi akan memunculkan berbagai rumor politik, baik bagi yang digantikan maupun bagi yang menggantikannya.
Nyandu kekuasaan ini berbahaya, bahkan mungkin lebih berbahaya daripada nyandu narkoba karena nyandu kekuasaan akan berdampak ”sistemik” bagi kehidupan masyarakat. Seorang penguasa atau pejabat yang nyandu kekuasaan akan melahirkan kebijakan dan tindakan yang korup, yang hanya menguntungkan dirinya dan kelompoknya, dan merugikan orang lain dan kelompok lainnya, dan dapat mengganggu dinamika kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Demokrasi politik sesungguhnya merupakan suatu terapi untuk mengatasi kecanduan kekuasaan karena dalam demokrasi politik kekuasaan harus selalu dikontrol secara ketat agar seorang penguasa tidak kecanduan kekuasaan, dan seorang penguasa harus bersikap terbuka dan positif menanggapi setiap kontrol dan kritik tajam dari publik, jangan malah jadi paranoid.
Sayang demokrasi politik kita tidak berjalan sehat, bahkan demokrasi kita pun kejangkitan candu kekuasaan. Akibatnya, demokrasi hanya sebagai alat permainan menjatuhkan kekuasaan belaka, tanpa tujuan yang jelas bagi peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
selengkapnya - CANDU KEKUASAAN