Saturday, November 1, 2008

PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Alqur'an)

Sekilas tentang PTIQ

Di kalangan qari-qari’ah, juga bagi mereka yang terlibat dalam MTQ, perguruan ini tentu tak asing lagi. Di samping namanya yang menyandang identitas Ilmu al-Qur’an, juga karena perannya yang cukup besar dalam pengembangan tilawah al-Qur’an di Indonesia. Banyak qari ternama yang lahir dari perguruan ini, sebut saja misalnya : H. Mu’ammar ZA, H. Nasrullah Jamaluddin, H.A. Muhajir, H. Mirwan Batubara, H. Muhsin Salim, H. Adli Azhari Nasution dan lain-lain. Belakangan juga banyak mufassir dan hafizh dari perguruan ini yang berhasil meraih kejuaraan dalam MTQ Nasional dan Internasional. Dan tidak hanya terbatas pada aspek MTQ saja, karena sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengkhususkan bidang al-Qur’an, perguruan ini pun mengembangkan bidang keilmuan maupun kemasyarakatan. Maka, untuk mengenal perguruan ini lebih lengkap, tulisan ini akan mengungkap tentang perkembangan perguruan ini dalam berbagai aspeknya.

Dari dan Untuk MTQ

Tak bisa dipungkiri bahwa Institut PTIQ lahir dari MTQ. Back-ground historis lahirnya MTQ bisa disimak bahwa dekade 50 - 60-an umat Islam Indonesia sedang gandrung dengan al-Qur’an. Di mana-mana muncul jam’iyyah qari dan hafizh al-Qur’an, seperti Nahdhatul-Qurra di Jombang, Wihdatul-Qurra’ di Makassar, Persatuan Pelajar Ilmu Qira’atil-Qur’an di Banjarmasin, Jam’iyyatul-Qurra di Medan, Jam’iyyatul-Huffazh di Kudus, serta berdirinya Jam’yyatul-Qurra’ wal-Huffazh tahun 1951 atas prakarsa KHA. Wahid Hasyim, Menteri Agama saat itu, yang pernah melaksanakan MTQ bertaraf nasional di Jakarta pada tahun 1954 dan di Surabaya tahun 1964. Saat dilaksanakan Konferensi Islam Asia-Afrika tahun 1965 di Bandung, diadakan pula MTQ Internasional. Dengan latar belakang itu, maka pada tahun 1968 diadakanlah MTQ Nasional I di Makassar. Pelaksanaan MTQ Nasional dan di daerah-daerah begitu semarak sebagai sebuah pesta rakyat yang bernafas keagamaan. MTQ juga memperoleh momentum karena secara politis saat itu Orde Baru sedang mencari dukungan umat Islam setelah mengganyang PKI sebagai golongan atheis. Maka seterusnya setiap tahun diadakan MTQ Nasional, berturut-turut di Bandung (1969), di Banjarmasin (1970), di Medan (1971), di Jakarta (1972), di Mataram (1973), di Surabaya (1974), di Palembang (1975), di Samarinda (1976), di Manado (1977) sampai yang terakhir MTQ Nasional XXI di Kendari tahun 2006.

Tepatnya PTIQ berdiri tgl. 1 April 1971. Ceritanya, dalam pembukaan MTQ Nasional III (1970) di Banjarmasin Presiden Soeharto mengatakan bahwa “al-Qur’an tidaklah cukup hanya dimusabaqahkan bacaannya, dan perlu dilakukan usaha ilmiyah untuk mengkajinya dalam rangka untuk mengamalkannya”. Menyambut himbauan Presiden tersebut serta demi mewujudkan cita-citanya, KH. Moh. Dachlan, Menteri Agama saat itupun berinisiatif mendirikan PTIQ ini untuk mempersiapkan kader-kader ulama al-Qur’an. Bersama dengan KH. A. Zaini Miftach, seorang hafizh al-Qur’an yang juga menjabat Direktur Penerangan Agama Islam, beserta Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, seorang ulama asal Bengkulu yang alumnus Universitas al-Azhar, beliau pada tahun 1970 telah membentuk Yayasan Ihya Ulumiddin yang kemudian menjadi badan hukum yang mendirikan dan menaungi PTIQ. Maka, mula-mula dibangunlah gedung bertingkat dua dengan gedung-gedung asrama mahasiswa serta sebuah masjid yang berlokasi di Pasar Jum’at, Jakarta Selatan. Dan calon-calon mahasiswa PTIQ direkrut dari seluruh Indonesia, setiap propinsi satu calon mahasiswa. Masing-masing daerah menseleksi calon mahasiswa, ada yang mengutamakan potensi qari dan ada yang mengutamakan aspek ilmiahnya. Maka berkumpullah saat itu mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Indonesia sebagai putra daerah terbaik yang kemudian tinggal di asrama, ditanggung segala kebutuhannya dan diberi beasiswa. Mereka siap dibina menjadi kader-kader ulama al-Qur’an. Pada saat upacara pembukaan PTIQ, KH. Moh. Dachlan mengungkap latar belakang berdirinya PTIQ, bahwa “saat ini dirasa sulit mencari tenaga ahli bidang al-Qur’an. Sementara banyak ulama yang telah wafat, dan penggantinya belum siap”. Karenanya, berdirinya PTIQ dengan tujuan mencetak kader-kader ulama yang sarjana dan hafizh al-Qur’an, sebagaimana universitas di Timur Tengah seperti al-Azhar, Mesir, Islamic University, Madinah dll. Suatu cita-cita yang prestisius untuk ukuran saat itu.

Rektor pertama PTIQ Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML (1971-1977) menggariskan program pengajaran PTIQ adalah menggabungkan model Universitas al-Azhar Mesir dan model pesantren. Mula-mula membuka Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin mempelajari beberapa mata kuliah yang diadopsi dari Universitas al-Azhar Mesir dan IAIN, di samping menekankan tahfizh al-Qur’an dan ‘ulum al-Qur’an, seperti tajwid, qira’at, rasm al-mushaf (Usmani), tafsir dan nagham (tarannum, lagu). Menurut beliau, PTIQ tidak diorientasikan kepada IAIN, bahkan mahasiswa tidak perlu mengikuti ujian negeri. Ini adalah konsekuensi dan konsistensi atas tujuannya untuk mendidik kader ulama, yang diharap dengan kualitas keulamaannya akan menjadi tokoh masyarakat yang harus mandiri.

Untuk pengembangan ‘ulum al-Qur’an, pada tahun 1972 dihadirkan guru besar dari Mesir, Syaikh Said Syarief, dan tahun 1975 Syaikh Abdul Qadir Abdul Azhim. Selain itu, juga memanfaatkan ulama ahli al-Qur’an dari berbagai daerah seperti KH. A. Zaini Miftach, imam besar Masjid Istiqlal, KH. Adzro’i Abdur Rauf, ulama al-Qur’an dari Medan dan KH. Tb. Mansur Makmun, ulama al-Qur’an berasal dari Banten. Dari kedua guru besar Mesir dan ulama itulah para qari PTIQ menimba ilmu qiraat dan nagham. Tausyikh sebagai acuan nagham yang kini tersebar di kalangan para qari mula-mula berasal dari kedua syekh tersebut yang kemudian disebarkan oleh mahasiswa dan alumni PTIQ.

PTIQ mulai memperlihatkan kehebatannya saat MTQ Nasional VIII di Palembang tahun 1975. Pada MTQ yang diikuti oleh seluruh juara-juara nasional sebelumnya itu, mahasiswa PTIQ asal Kalimantan Selatan, H. Nasrullah Jamaluddin, berhasil meraih juara pertama. Selanjutnya H. Mu’ammar ZA meraih juara pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, H. Mirwan Batubara pada MTQ Nasional XIII di Padang tahun 1983, dan H. Syarifuddin Muhammad pada MTQ Nasional XV di Bandar Lampung tahun 1988. Sedang H. Ahmad Muhajir, H. Rahmat Lubis, H. Adli Azhari Nasution dan H. Fauzi Ridwan meraih kejuaraan di Musabaqah Internasional di Mekkah, Saudi Arabia, serta H. Masrur Ikhwan adalah juara qari remaja pada MTQ Nasional XVIII di Jambi dan juara qiraat pada STQ Nasional di Mataram.

Begitu pula pada musabaqah hifzhil-Qur’an dan tafsir al-Qur’an banyak mahasiswa PTIQ yang berhasil meraih juara nasional dan kemudian mengikuti Musabaqah al-Qur’an Internasional di Mekkah, di Cairo, di Teheran atau yang lain. Mahasiswa PTIQ yang juara dalam hifzil-Qur’an antara lain : H. Quraisyi Ali, H. Imron Syuhada, H. Ishomudin, H. Thabri Thaha, H. Muslih Qurthubi dan yang belakangan H. Martomo yang kemudian meraih jura II pada Musabaqah al-Qur’an Internasional di Libya tahun 2006. Sedang yang berhasil sebagai mufassir antara lain : H. Hamid Ahmad, H. Dzul Fattah Yasin, H. Dimyathi Badruzzaman, H. Abu Alim Dzunnurain, H. Ilhamuddin Qasim, H. Abdurrahim Hasan, H. Husnul Hakim, H. Mu’tasim Billah, H. Hasanuddin Sinaga, dan H. Syahrir Ali Basya.

Selain banyak mahasiswa yang menjadi peserta dan kemudian menjadi juara, banyak pula dosen PTIQ yang terlibat sebagai pembina, pelatih dan sebagai hakim daerah maupun nasional. Mereka antara lain KH. Cuwailid Dja’far, MA, Drs. H. A. Muhaimin Zen, MA, Drs. H. Muntaha Azhari, MA, H. Amad Fathoni, MA di bidang hifzhil-Qur’an, juga Prof. Dr. Chatibul Umam di bidang kaligrafi. Para alumni PTIQ yang tersebar di daerah-daerah juga banyak yang terjun sebagai pembina, pelatih dan hakim, antara lain : Dr. H. Syar’i Sumin, MA dan. Drs. H. Asmini Maizan di Padang (Sumbar), Drs. H. Mahmud Lamalundu di Palu (Sulteng), Drs. H. Lalu Nurul Wathon di Mataram (NTB), Drs. H. Mukhlis Abdusshomad di Banjarmasin (Kalteng), Drs. H. Ridho di Jambi, H. Fauzi Ridwan di Bandung (Jabar), KH. Dzul Hilmi di Surabaya (Jatim), Drs. H. Ibrahim Asfari, SH dan Drs.H. Musytari, MPd di Surakarta (Jateng), Drs. H. Rasyid Tampibi di Manado (Sulut), Drs. H. Abubakar di Kepri, Drs. H. Syafruddin Jahri di Kaltim, Drs. H. Mursyid Qari di Palembang (Sumsel), Drs. H. Amin Husaini Zen dan Drs. H. Sualip di Banda Aceh (NAD), Drs. H. Ajid bin Thahir di Ambon (Maluku) dan lain-lain.

Peran Keilmuan dan Kemasyarakatan

Sejak tahun 1973 pengelolaan PTIQ dipindahkan kepada Yayasan Pendidikan al-Qur’an (YPA) yang didirikan oleh Dr. H. Ibnu Sutowo. Sebenarnya, yayasan yang berdiri tahun 1969 ini juga ingin mendirikan semacam PTIQ, tetapi karena ada kesamaan missi dengan Yayasan Ihya Ulumiddin sebagaimana komunikasi yang berjalan, maka YPA pada awalnya mengikut saja. Ketika KH. Moh. Dachlan digantikan oleh Prof. HA. Mukti Ali, YIU nampak menghadapi kesulitan dan kemudian dialihkanlah pengelolaan PTIQ kepada YPA. Dan kini, setelah Dr. Ibnu Sutowo wafat, maka kedudukannya sebagai Ketua Badan Pendiri digantikan oleh putranya H. Ponco Sutowo dengan Ketua Badan Pengurus Drs. H. Zacky Siraj. Institut PTIQ Jakarta yang eksis sekarang ini secara fasilitas berbeda dengan dulu. Sejak tahun 1982 mahasiswa tidak lagi terbatas pada utusan propinsi. Mereka juga tidak memperoleh fasilitas dan beasiswa seperti dulu. Fasilitas asrama dan beasiswa hanya diberikan kepada mahasiswa yang mengambil Program Tahfizh Penuh. Maka jumlah mahasiswanya pun bertambah banyak dengan program S1 pada empat fakultas : Syari’ah (jurusan Ahwalus-syakhsiyah), Ushuluddin (jurusan Tafsir Hadits), Tarbiyah (jurusan PAI) dan Dakwah (jurusan KPI).

Sesuai dengan identitasnya, kompetensi al-Qur’an sebagai ciri khas (distinction) menjadi keunggulan kompetitif (advantage competetion) yang diproritaskan. Hifzhil-Qur’an merupakan sine qua-non bagi mahasiswa PTIQ. Mereka tak bisa mengikuti ujian setiap smester (UAS) sebelum lulus hafalan al-Qur’an sesuai dengan target yang ditetapkan. Menurut Prof. Dr. KH. Chatibul Umam yang ikut membidani lahirnya PTIQ dan pernah menjabat sebagai rektor (1996-2004), bahwa “Hifzhil-Qur’an adalah ukuran yang paling kongkret atas penguasaan al-Qur’an. Dengan bekal hafal al-Qur’an, diharap mahasiswa akan melakukan pengkajian tafsir serta menggali kandungannya”. Bagi mahasiswa yang mengambil Program Tahfizh Penuh harus menyelesaikan hafalannya 4 (empat) juz setiap smester, dan sebelum ujian munaqasyah harus menyelesaikan ujian komprehensif tahfzih al-Qur’an 30 juz. Karena itu selain memperoleh gelar SAg mereka juga diberi gelar al-Hafizh, yang kemudian dipopulerkan dengan gelar SQ. Sedang mahasiswa yang mengambil Program Tahfizh Terbatas diwajibkan menghafal beberapa surat al-Qur’an sesuai dengan fakultasnya, misalnya Fakultas Syari’ah jurusan Ahwal as-Syakhsiyah harus hafal surah an-Nisa, at-Thalaq dan at-Tahrim, atau Fakultas Tarbiyah jurusan PAI harus hafal surah Alu Imran, Luqman dan az-Zumar.

Kompetensi al-Qur’an juga ditunjukkan dengan seperangkat mata kuliah ulumul-Qur’an dan tafsir di semua jurusan, seperti tajwid, nagham, qira’at, qawa’id tafsir, studi naskah tafsir dan tafsir actual. Pengajaran bahasa Arab juga lebih dintensifkan, yang meliputi nahwu, sharf dan balaghah. Bahkan untuk menambah kelancaran berbahasa Arab, PTIQ sekarang membuka kelas intensif Bahasa Arab bekerjasama dengan LIPIA Saudi Arabia di Jakarta. Dengan begitu semua mahasiswa PTIQ akan memperoleh bekal yang cukup untuk dikembangkan sebagai kader ulama al-Qur’an. Dan untuk mempersiapkan kader ulama al-Qur’an yang lebih matang, sejak tahun 1999 PTIQ membuka program S2 jurusan Tafsir al-Qur’an dan Manajemen Pendidikan Islam. Dan pada tahun ajaran 2006-2007 PTIQ ditunjuk oleh Departemen Agama sebagai pelaksana Program S2 khusus ‘Ulumul-Qur’an dengan mahasiswa yang diseleksi kemampuan Bahasa Arabnya karena perkuliahan memakai Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dan mereka diberi fasilitas beasiswa penuh.

Kehadiran PTIQ sejak tahun 1971 telah menghasilkan ratusan alumni yang kini tersebar di berbagai daerah dan pada profesi yang beragam. Kiprah PTIQ dan alumninya pun terasa dalam pengembangan masyarakat, terutama di bidang keagamaan dan al-Qur’an. Karena mayoritas alumni terjun dalam bidang keagamaan dan kequr’anan, ada yang menjadi kyai pengasuh pesantren, ustadz dan da’i, dosen dan ilmuwan, imam dan pengelola masjid-masjid besar, pengelola majlis ta’lim, pegawai pemerintah, politisi, wartawan dan ada juga yang menjadi pengusaha. Di antara mereka, sekedar menyebut contoh, KH. Dr. Noer Muhammad Iskandar, SQ, pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jakarta (memiliki 5 cabang), Drs. KH. Husen Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut-Tauhid, Cirebon, KH. Drs. Dimyathi Badruzzaman, pengasuh Pondok Pesantren Darus-Shalihin Depok, Dr. KH. Munif Suratmaputra pengasuh Pondok Pesantren Nuruz-Zahrah Depok, Drs. H. Umay Maryunani, MA, pengasuh Pondok Pesantren al-Ma’shum al-Mardhiyah Cianjur. Sedang yang terjun di bidang politik dan pernah atau sedang duduk di DPR/MPR ada Drs. H. Saifullah Ma’shum (PKB), Drs. H. Mujib Rahmat (Golkar), Drs. H. Imam Addaruqutni (PAN, sekrang PMB), Drs. H. Ghazali Abbas, Dr. H. Muzni Umar, Drs. H. Lalu Muhyi Abidin. Sedang mereka yang menekuni bidang keilmuan antara lain Dr. H. Syar’i Sumin yang menjadi Direktur STAIPIQ Padang dan dosen Universitas Andalas, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, pernah menjabat Purek I UIN Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, Dr. KH. A. Munif Suratmaputra, Purek I IIQ Jakarta, Dr. H. Zuhroni, dosen Universitas YARSI Jakarta. Ada lagi beberapa alumni yang kini menjabat di lingkungan PTIQ sendiri, seperti Dr. HM. Darwis Hude, MSi (Purek II), Drs. H. Muntaha Azhari, MA (Purek III), Dr. H. Ali Nurdin, MA (Dekan Fak. Ushuluddin), Drs. H. Imam Daruqutni, MA (Dekan Fak. Syari’ah), H. Syamsul Bahri Tanrere, MA (Dekan Fak. Tarbiyah), Drs. H. Yasin Azhari (Dekan Fak. Dakwah). Beberapa alumni PTIQ kini juga sebagai imam di beberapa masjid besar di Jakarta, antara lain di Masjid Istiqlal (Drs. H. Syarifuddin Muhammad, H. Dzul Fattah Yasin, H. Muhasyim, SQ, H. Hasanuddin Sinaga, MA, H. Rofiuddin, SQ dan H. Martomo, SQ), Masjid Baiturrahim Istana Negara H. Ramli Massange, MA), Masjid al-Azhar (H. Ahmad Chotib, SQ), Masjid at-Tin (H. Masrur Ikwam, SQ, H. Syahrir Alibasya, SQ), Masjid YARSI Cempaka Putih (H. Uun Munir Ramdhan , MPd), Masjid Islamic Center, Masjid Raya Pondok Indah, Masjid Darul Adzkar Karang Tengah dan. Dalam publikasi ilmiah PTIQ menerbitkan Jurnal al-Burhan yang terbit secara berkala. Juga ada beberapa judul buku yang telah diterbitkan, antara lain al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan (1986), Tipologi Manusia Pembangunan dalam al-Qur’an (1988), Kaidah Qiraat Tujuh menurut Thariqah Syathibiyah (1991), Beberapa Aspek Ilmiah al-Qur’an (1996), Pancaran al-Qur’an terhadap Kehidupan Bernegara (1990), Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an (2001).

Memang sudah banyak yang diperbuat PTIQ untuk pengembangan al-Qur’an, tetapi masih banyak hal yang perlu dilakukan juga. Menurut Rektor PTIQ (2005 – 2009) Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, bahwa “dengan adanya otonomi daerah kini PTIQ perlu menjalin kerjasama dengan Pemda Propinsi atau Kabupaten dalam merekrut mahasiswa sebagai utusan daerah yang akan kembali berkiprah mengembangkan al-Qur’an di daerah-daerah. Selain itu, PTIQ akan berusaha untuk go internasional, menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga tingkat dunia dalam mengembangkan aspek akademik maupun penguatan kelembagaan.” Tugas membumikan al-Qur’an atau mengaktualisasikan pesan-pesannya di era globalisasi merupakan pekerjaan besar yang menuntut keseriusan serta dukungan semua pihak. Nampaknya, di beberapa daerah kini berdiri juga perguruan-perguruan al-Qur’an. Juga terbentuknya lembaga atau jam’iyah yang bergerak dalam bidang ini. Semoga terjalin kerja-sama antara semuanya sehingga usaha membumikan al-Qur’an dan membentuk masyarakat Qur’ani yang menjadikan al-Qur’an sebagai hudan, syifa’ wa rahmah segera terwujud di bumi Nusantara ini. Amin
selengkapnya - PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Alqur'an)