Sunday, May 22, 2011

CANDU KEKUASAAN

Oleh : Prof. Dr. H. Musa Asy’arie 
Hiruk pikuk politik yang menguasai jagat perpolitikan kita selama ini masih terfokus pada sengitnya perebutan kekuasaan antarelite politik. Perebutan kekuasaan terus berlangsung setiap saat, dan setiap ada momen politik yang dapat dimanfaatkan untuk menjatuhkan seorang penguasa, maka akan segera dimanfaatkan untuk membuka peluang bagi dirinya masuk dalam ranah kekuasaan politik yang ada.
Dan ini semua terjadi dalam setiap bidang kehidupan politik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, dan terjadi dalam segala tingkatannya, baik di daerah maupun di pusat. Bahkan, terjadi dalam berbagai aspek kehidupan kita, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun agama.
Nafsu politik untuk menjatuhkan lawan politik terus berkembang biak dan berkecamuk dalam pikiran seseorang yang terus-menerus bekerja, dan akibatnya kekuatan pikiran politik yang ada hanya tertuju bagaimana caranya menjatuhkan lawan itu, tidak peduli bagaimana proses dan akibatnya. Nafsu politik yang tak terkontrol oleh etika politik kemanusiaan akan berakibat destruksi sosial yang masif.

Sakralisasi kekuasaan

Kekuasaan memberikan peluang bagi seseorang yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan segala-galanya dalam kehidupannya; kehormatan, status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. Mungkin karena begitu sentralnya kekuasaan dalam kehidupan masyarakat kita, muncul anggapan bahwa kekuasaan itu pulung, anugerah gaib yang datang dari langit, yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, dan karenanya bersifat sakral.
Sakralisasi kekuasaan berakibat bahwa kekuasaan itu cenderung tidak pernah salah sehingga kekuasaan bisa melakukan segala-galanya. Kekuasaan menjadi absolut. Akan tetapi, kekuasaan itu akan jatuh pada saatnya, melalui suatu krisis politik yang destruktif yang mengacaukan kehidupan masyarakat, dan pada saat itulah si pulung dari langit itu terlepas, dan akan jatuh pada seseorang yang ditunjuk secara gaib untuk mendapatkannya, dan begitu seterusnya. Terjadi perputaran jatuh bangun kekuasaan, yang semuanya tak terlepas dari campur tangan gaib.
Dalam masyarakat yang percaya adanya pulung, tanda-tanda memudarnya kekuasaan dari langit yang ada pada diri seseorang yang sedang berkuasa biasanya adalah jatuhnya wibawa penguasa yang digerogoti oleh kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya, melalui berbagai musibah dan bencana.
Setiap bencana dan musibah yang terjadi selalu akan dikaitkan dengan suara langit yang mulai memberikan peringatan kepada seorang penguasa, untuk melakukan introspeksi diri dan kekuasaannya, ia harus menyadari ada sesuatu yang salah yang terjadi dalam kekuasaannya dan segera ambil tindakan untuk mengubah kebijakan dan tindakannya.
Seorang penguasa tak perlu menepis habis-habisan anggapan bahwa musibah dan bencana yang terjadi tak ada kaitan sama sekali dengan kekuasaannya, apalagi mengatakan musibah itu bencana alam yang bisa terjadi karena mekanisme alamiah. Faktanya, bencana dan musibah tidak pernah bisa dilepaskan dari perbuatan tangan manusia. Secara spiritual, alam pun akan murka jika bencana dan musibah selalu dituduhkan pada dirinya.

Kecanduan kekuasaan

Kekuasaan itu nyandu. Seorang penguasa yang terus-menerus berkuasa akan kecanduan kekuasaan, yang membuat hidupnya menjadi tidak normal jika tidak menggenggam kekuasaan. Ketergantungan pada kekuasaan membuat seorang penguasa menjadi terlalu sensitif pada kekuasaannya. Kritik dan sikap yang berlawanan dengan kekuasaannya yang datang dari sebagian kelompok masyarakat akan dipandangnya sebagai usaha menjatuhkan kekuasaannya. Seorang penguasa jadi paranoid.
Kecenderungan nyandu kekuasaan bisa terjadi pada siapa pun dan terjadi dalam setiap jenjang kehidupan, dan dalam berbagai aspek kehidupan, baik di tingkat nasional maupun lokal, bahkan internasional. Seorang tokoh organisasi yang telah kecanduan kekuasaan tidak legowo digantikan oleh orang lain, dan kalau- pun harus digantikan, selalu ingin yang menggantikan masih berkaitan, untuk menjaga kepentingannya. Hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi pemerintahan sehingga pergantian pejabat dalam jajaran birokrasi akan memunculkan berbagai rumor politik, baik bagi yang digantikan maupun bagi yang menggantikannya.
Nyandu kekuasaan ini berbahaya, bahkan mungkin lebih berbahaya daripada nyandu narkoba karena nyandu kekuasaan akan berdampak ”sistemik” bagi kehidupan masyarakat. Seorang penguasa atau pejabat yang nyandu kekuasaan akan melahirkan kebijakan dan tindakan yang korup, yang hanya menguntungkan dirinya dan kelompoknya, dan merugikan orang lain dan kelompok lainnya, dan dapat mengganggu dinamika kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Demokrasi politik sesungguhnya merupakan suatu terapi untuk mengatasi kecanduan kekuasaan karena dalam demokrasi politik kekuasaan harus selalu dikontrol secara ketat agar seorang penguasa tidak kecanduan kekuasaan, dan seorang penguasa harus bersikap terbuka dan positif menanggapi setiap kontrol dan kritik tajam dari publik, jangan malah jadi paranoid.
Sayang demokrasi politik kita tidak berjalan sehat, bahkan demokrasi kita pun kejangkitan candu kekuasaan. Akibatnya, demokrasi hanya sebagai alat permainan menjatuhkan kekuasaan belaka, tanpa tujuan yang jelas bagi peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
selengkapnya - CANDU KEKUASAAN

Thursday, March 31, 2011

PENDIDIKAN MEMIHAK SIAPA ?

Oleh : Prof. Dr. Komaruddin  Hidayat, M.A.


Pendidikan setiap bangsa mesti memiliki ideologi, yaitu keyakinan, nilai, cita-cita, visi, dan metode untuk meraihnya yang setia memajukan bangsa dan negaranya.
Dengan demikian, sebuah proses pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan dan mendorong siswa agar membuat persiapan untuk menjawab pertanyaan ketika musim ulangan dan ujian tiba. Ada empat domain pokok yang mesti dipahami dan menjadi acuan dalam setiap proses pendidikan di Indonesia, yaitu agar setiap siswa mengenal dan memahami potensi dirinya sehingga merasa mantap nantinya ketika memilih satu jurusan yang sesuai dengan bakat dan minatnya.Kedua, mengenal karakter dan potensi daerahnya yang potensial untuk dipelihara dan dikembangkan.
Ketiga, memahami sejarah dan jati diri bangsanya untuk dijaga kehormatannya dan dimakmurkan rakyatnya. Keempat, guru dan siswa juga perlu memiliki wawasan regional-global meskipun sekilas mengenai apa yang tengah dan akan terjadi pada tingkat internasional. Keempat domain itu sangat penting dimiliki oleh setiap siswa karena nantinya mereka akan menerima estafet kepemimpinan dan kepemilikan bangsa ini. Tapi disayangkan, suasana batin pendidikan sekarang ini lebih banyak diributkan oleh hal-hal administratif dan heboh ujian nasional yang materinya sangat kognitif. Menarik diteliti, seberapa dalam dan kuat pemahaman serta kecintaan remaja kita terhadap sejarah dan jati diri bangsanya dengan materi dan kultur pendidikan yang berlangsung selama ini.
Saya agak pesimistis lantaran kurikulum dan kultur pendidikan yang ada sekarang kurang menanamkan nilai-nilai patriotisme karena pelajaran sejarah dan ketatanegaraan agak terpinggirkan. Sekolah lebih fokus pada persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Sejarah, semangat, dan nilai-nilai yang menjiwai kelahiran republik ini tidak cukup dipahami para siswa.Rasa pemihakan serta kecintaan kepada rakyat kecil dan Tanah Air kurang tertanam di hati para siswa dan hal ini bisa jadi terbawa sampai besar. Pernah dilakukan survei bahwa para sarjana ketika mencari kerja yang paling diminati adalah bergabung ke kantor penjual jasa dengan gaji besar, kurang mempertimbangkan apakah perusahaan itu prorakyat Indonesia ataukah tidak.
Siapakah pemilik perusahaan dan seberapa besar pemihakannya pada kepentingan Indonesia kurang menjadi pertimbangan. Dengan kata lain, siapa yang mau membayar lebih tinggi akan menjadi pilihan pertama dan utama. Jika sikap pragmatisme seperti itu dominan pada pikiran para siswa dan sarjana kita, logis bila banyak modal asing seenaknya beroperasi di Indonesia dan menggeser usaha-usaha nasional-pribumi. Tanpa adanya pemihakan ideologis terhadap kepentingan dan harga diri bangsa sendiri yang ditanamkan sejak sekolah dan berlanjut pada jenjang perguruan tinggi serta kultur perusahaan, daya tahan ekonomi dan budaya Indonesia semakin rapuh.
Rumor yang beredar, suap itu tidak saja berlangsung di lingkungan aktor politik, birokrat, dan pengusaha Indonesia, tetapi tak kalah menggiurkan adalah kekuatan luar yang sengaja ingin mendominasi dan menjerat politik ekonomi bangsa ini. Potensi kekayaan alam yang semasa Bung Karno masih diproteksi, sekarang diobral murah pada modal asing dengan pembagian untung yang sangat tidak sepadan. Orang terjebak berpikir pendek untuk memenuhi kepentingan sesaat dan kelompok kecilnya saja dengan mengorbankan aset dan harga diri bangsa dan rakyatnya. Para calon bupati, wali kota, dan gubernur degan tega dan tidak tahu malu meracuni rakyat dengan membagi uang agar dirinya dipilih.
Tindakan ini telah mencederai harga dirinya, rakyatnya, proses demokrasi, dan pada urutannya menyebarkan virus pembusukan ke dalam kultur politik kita. Yang tidak terpantau oleh rakyat adalah transaksi tingkat tinggi yang berlangsung lintas negara. Lagi-lagi, pertanyaan yang mesti kita renungkan adalah seberapa besar pemihakan kita baik dalam dunia pendidikan, ekonomi maupun politik terhadap martabat dan jati diri bangsa sendiri? Bagaimana kita menyikapi pemberitaan tenaga kerja wanita (TKW) yang telantar dan tersiksa di Timur Tengah? Belum lagi nasib petani dan perajin yang terdesak oleh produk impor.
Esai ini ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali,sudah tepatkah strategi pendidikan kita untuk menanamkan nilai-nilai cinta Tanah Air, kekayaan budaya sendiri, dan pemihakan kepada rakyat serta martabat bangsanya? Saya tetap pada prinsip, setiap proses pendidikan mesti ada evaluasi semacam ujian. Hanya saja perlu diingat, ujian adalah bagian dari proses pendidikan dan pembentukan karakter, bukan tujuan akhir dari proses pembelajaran siswa sehingga seluruh perhatian guru dan murid diarahkan ke ujian nasional.
selengkapnya - PENDIDIKAN MEMIHAK SIAPA ?

Friday, February 11, 2011

Keutamaan Membaca Al-Qur'an

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Menyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)

Ada dua cara seseorang di dalam membaca kitab Allah. Pertama, tilawah hukmiyyah, yaitu membenarkan segala berita yang ada di dalamnya dan menerapkan hukum-hukumnya dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, tilawah lafhzhiyyah atau qira’atul Qur’an, banyak sekali nash-nash yang menyebut keutamaannya. Dalam Shahih Bukhari, disebutkan riwayat dari Utsman bin Affan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Dalam Shahihain, disebutkan pula hadits dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an kelak (mendapat tempat disurga) bersama para utusan yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dan masih terbata-bata, dan merasa berat dan susah, maka dia mendapatkan dua pahala.”

Dua pahala ini, salah satunya merupakan balasan dari membaca Al-Qur’an itu sendiri, sedangkan yang kedua adalah atas kesusahan dan keberatan yang dirasakan oleh pembacanya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena pada hari Kiamat nanti dia akan datang sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia mendapatkan satu kebaikan, sedangkan kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi)

Keutamaan-keutamaan ini meliputi seluruh kandungan isi Al-Qur’an. Banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan keutamaan surat-surat tertentu, misalnya surat Al-Fatihah. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Abu Sa’id bin Mu’alla bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Aku akan mengajarkanmu surat yang paling agung di dalam Al-Qur’an, yaitu Alhamdulillaahi Rabbi l-‘alamiin (Al-Fatihah). Ini adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Qur’an agung yang diberikan kepadaku.”

Oleh karena keutamaannya itu, maka membacanya menjadi bagian dari rukun shalat. Shalat tidak akan menjadi sah tanpa membaca Al-Fatihah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi siapa yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)

Surat dalam Al-Qur’an lainnya yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah surat Az-Zahrowain, yaitu Al-Baqarah dan Ali Imran. Karena sesungguhnya keduanya akan datang pada hari Kiamat seperti dua buah awan atau seperti dua kawanan burung yang sedang terbang berbaris membela orang-orang yang biasa membacanya. Bacalah surat Al-Baqarah karena membacanya membawa berkah sedangkan meninggalkannya akan menyebabkan penyesalan. Surat ini tidak akan bisa dibaca oleh para tukang sihir.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan bisa dimasuki setan.” (HR. Muslim)

Surat lainnya yang mempunyai keutamaan khusus adalah surat Al-Ikhlas. Dalam Shahih Bukhari disebutkan riwayat dari Abu Said Al-Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.”

Selain itu, surat yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Falaq dan An-Nas, atau biasa disebut mu’awwidzatain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kamu beberapa ayat yang diturunkan pada hari ini yang belum pernah sebanding dengannya? Yaitu Qul ‘a’udzibi Rabbi l-falaq, dan Qul ‘a’udzubi Rabbi n-nas.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh memperbanyak bacaan Al-Qur’an yang penuh berkah, apalagi di bulan Ramadhan. Para Salafush Shalih dahulu selalu memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Imam Malik, jika Ramadhan tiba, maka beliau berhenti dari membaca hadits dan majelis-majelis ilmu (berhenti mengajar) untuk kemudian berganti membaca Al-Qur’an. Imam Qatadah selalu meng-khatam-kan bacaan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali, sedangkan pada bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap tiga hari sekali, dan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap hari
selengkapnya - Keutamaan Membaca Al-Qur'an

Saturday, January 8, 2011

PNS TIDAK COCOK UNTUK ....

Oleh : Romi Satria Wahono

Menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), bagi sebagian orang Indonesia adalah sebuah dambaan, meskipun bagi sebagian lagi yang lain mungkin keengganan. Menjadi dambaan banyak orang sehingga antrean pengambil formulir pendaftaran CPNS selalu membludak setiap tahun. Orang merelakan apapun yang dia miliki untuk menjadi seorang PNS, baik uang puluhan juta rupiah, harga diri, dsb. Meskipun sudah ada upaya dari pemerintah untuk memperbaiki masalah rekrutmen PNS, baik melalui hukuman dan perbaikan sistem, tapi tetap saja masalah sogok, suap, atau apalah namanya adalah fakta yang terjadi di masyarakat.

Alhamdulillah saya tidak perlu melewati itu semua, karena kebetulan saya menjadi PNS bukan lewat jalur penerimaan biasa, tapi lewat beasiswa sekolah luar negeri dalam program STAID (sebelumnya bernama OFP dan STMDP) yang diinisiasi pak Habibie. Well, meskipun saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS, saya harus ikhlas melaksanakan perjanjian yang dulu saya buat sebelum berangkat ke Jepang. Dan secara dewasa saya harus mengakui bahwa ini adalah jalur jalan kehidupan saya, paling tidak sampai ikatan dinas 2n+1 saya berakhir.

Jujur, saat ini saya merasa fatique, penat dan bosan dengan kehidupan saya sebagai PNS. Mohon maaf bagi rekan-rekan saya sesama PNS, sekali lagi saya tidak bermasalah dengan anda semua, saya cinta anda semua dan sedang berdjoeang seperti anda-anda semua ;) Yang saya penatkan adalah behavior, sistem dan birokrasi yang ada di dalam institusi pemerintah. Biasanya yang menentramkan saya adalah sahabat saya yang lagi nongkrong di jerman, yaitu Made Wiryana yang sering mengatakan bahwa, yang paling gampang itu memang kalau kita memilih berdjoeang di luar, bebas dan tidak terikat. Penghargaan yang besar kepada rekan-rekan yang memilih berdjoeang di dalam institusi pemerintah, membuat inovasi serta perbaikan dari dalam.

Nah saya ingin menshare suatu ide, pandangan dan referensi sebelum saudara-saudara saya tercinta di seluruh Indonesia memilih untuk menjadi PNS. Tentu yang saya sampaikan ini masih bersifat subjektif, masih hanya analisa di satu atau dua institusi pemerintah, dan perlu satu langkah diskusi, survey atau penelitian yang komprehensif sebagai upaya objetifikasi ide. Poin-poin yang saya sampaikan di bawah juga masih bisa ditambahi, dikurangi, dihapus atau bahkan diturunkan kalau muncul desakan di sana sini ;) Mudah-mudahan ide ini bisa jadi gambaran sehingga tidak ada lagi orang yang salah jalan menempuh jalan terjal dan mendaki menjadi PNS, padahal itu sebenarnya tidak cocok untuk dirinya.

Jadi menurut saya, sekali lagi “menurut saya”, PNS tidak cocok untuk orang-orang seperti di bawah:

1. Orang yang ingin melakukan perubahan, perbaikan, membuat inovasi baru dan berharap itu akan terimplementasikan dalam waktu cepat. Perubahan, perbaikan berjalan lambat karena sistem (baik dalam konotasi baik maupun buruk ;) ) sudah berjalan sangat lama dan turun temurun. Anda mau nekat? anak kemarin sore dan pahlawan kesiangan adalah gelar abadi anda

2. Orang yang tidak suka melihat uang dan anggaran dipermainkan, diputar-putar dan dipatgulipat. Orang yang memandang bahwa permainan anggaran, permainan perencanaan kegiatan adalah kegiatan yang salah, penuh dosa dan akan mendapatkan balasan setimpal di akherat kelak. Perlu dicatat juga bahwa banyak juga ”PNS lurus” yang tidak menyadari bahwa beberapa fasilitas dan honor yang diterima adalah hasil subsidi silang dari kesemrawutan anggaran dan realisasinya.

3. Orang yang tidak suka sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana atau anggaran yang jauh-jauh hari telah ditetapkan. Dalam rencana anggaran tertulis beli komputer Rp. 20 juta, ternyata harga sebenarnya hanya Rp. 5 juta, dan akhirnya sisanya dipakai untuk keperluan lain yang di luar rencana (honor, tunjangan, beras atau minyak goreng untuk karyawan).

4. Orang yang tidak tega memalak teman-temannya yang menjadi rekanan bisnis institusinya, dengan meminta kuitansi seharga Rp. 50 juta, padahal nilai pengadaan barang/jasa sebenarnya hanya seharga Rp. 25 juta. Si rekanan bisnis ini karena marginnya kecil, jadi ngemplang pajak, karena memang dia tidak menerima duwit sebesar itu. Perusahaannya bangkrut karena nggak kuat bayar pajak, akhirnya dia buat perusahaan lagi dan ngurus jadi rekanan lagi.

5. Anak muda yang cerdas, berwawasan dan bisa mengeluarkan dan merangkumkan ide (pendapat) yang lebih brilian dan strategis daripada eselon diatasnya (eselon 4, 3, 2, 1) atau bahkan seorang menteri. Si anak muda ini ketika bertemu dengan bos yang tidak tepat akan disebut bahwa idenya terlalu strategis dan kurang tepat dengan golongannya yang rendah dan cocok untuk permasalahan teknis.

6. Orang yang tidak suka dirinya dan hasil kerjanya dinilai hanya dari absensi. Atau lebih lagi bagi orang yang tidak bisa kerja kalau sebelum kerja harus njeglok mesin absensi ;) Apa yang anda perbuat, membuat proposal setebal kamus oxford, kerja lembur sampai subuh, membuat kerjasama dengan institusi atau organisasi di luar negeri, atau mengharumkan nama institusi karena anda berprestasi di luar, semua tidak akan dipandang kalau absensi anda jeblog. Kalau anda protes, maka anda akan diminta membaca UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP No 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kalau perlu bacanya sambil nyungsep di laut saja mas

7. Orang yang merasa kurang apabila bekerja sehari hanya 4 jam. Karena kemungkinan anda akan datang jam 8 pagi, njeglok absen, sarapan pagi sambil ngobrol sampai jam 10. Istirahat siang jam 12, kembali ke kantor jam 13:15, dan adzan sholat ashar jam 15:15 merupakan bel pulang kantor.

8. Orang yang memiliki jiwa enterpreneur dan selalu melihat segala peluang sebagai peluang yang kemungkinan bisa menjadi bisnis. Ketika jiwa enterpreneur ini diimplementasikan di tempat yang tepat hasilnya akan positif, tetapi apabila diimplementasikan di institusi pemerintah tempat bekerja, bisa jadi sumber korupsi yang maha dahsyat dan mengerikan. Orang ini diharapkan ketika melihat berjubelnya pendaftaran PNS dan mendengar keluhan 4 juta PNS di Indonesia tentang gaji mereka yang rendah selalu berpikir untuk mempunyai perusahaan dan bisa membuka lapangan kerja baru bagi 4 juta orang di Indonesia. Mungkin posisi itu lebih tepat.

Saya yakin bahwa sebagai anak bangsa, baik posisi kita ada di dalam maupun di luar institusi pemerintah, kita ingin dan sama-sama berdjoeang membuat republik kita ini lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera dan disegani bangsa-bangsa lain. Seperti yang sudah saya sitir diatas, kadang PNS bukanlah pelaku, tetapi sebenarnya juga menjadi korban. Masih banyak “PNS-PNS lurus” yang siap melakukan perbaikan di negeri ini. Mari kita melakukan perbaikan semampu kita, baik dengan lisan, hati maupun dengan tangan. Dan jangan lupa untuk mensyukuri segala nikmat dan keadaan yang sudah Allah berikan kepada kita.

Wallahualam bisshawab.

Romi Satria Wahono
selengkapnya - PNS TIDAK COCOK UNTUK ....

Thursday, December 16, 2010

LANGIT MENDUNG DI ATAS KAMPUS


Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA

Ini jeritan hati seorang guru. Mungkin sekali juga jeritan hati seorang dosen dan orang tua. Mari kita hitung. Berapa lama mendidik seorang anak sejak dari taman kanak-kanak (TK) sampai berhasil menjadi sarjana.

Lalu masih harus berjuang lagi jika ingin menempuh strata S-2, kemudian naik lagi S-3. Itu semua mungkin memerlukan waktu minimal 20 tahun.Untuk berhasil meraih gelar profesor, seorang dosen bahkan perlu perjuangan lanjutan lagi. Bayangkan, betapa banyak biaya dan pengorbanan yang mesti dikeluarkan baik tenaga, pikiran, uang, maupun emosi.

Membayangkan itu semua maka sangat wajar kalau acara wisuda sarjana merupakan hari kegembiraan dan pelepasan dari semua lelah serta penantian panjang. Orang tua berbondong-bondong ke kampus untuk menyaksikan hari bersejarah itu. Para wisudawan mengenakan pakaian toga simbol kelahiran kembali sebagai seorang yang telah dewasa secara intelektual. Mereka berfoto ria untuk mengabadikan momen yang amat mahal dan langka dalam hidup seseorang.

Demikianlah, dengan bekal kesarjanaan, seseorang lalu menapaki jalan hidup serta karier lebih lanjut. Di antara mereka ada yang berkarier sebagai akademisi di lingkungan kampus dan ada pula yang berkarya di jajaran birokrasi pemerintahan ataupun di sektor swasta. Saya sebagai seorang guru, dosen, dan sementara ini dipercayai sebagai pimpinan universitas akhir-akhir ini dibuat sedih dan merenung membaca berita berbagai skandal korupsi yang dilakukan oleh mereka yang latar belakang pendidikannya sarjana,bahkan ada yang dikenal sebagai akademisi dan profesor.

Sungguh situasi ini membuat pilu. Sebagai seorang guru dan dosen pasti sedih, bertanya-tanya, apa yang salah dengan dunia pendidikan kita? Secara teoritis-normatif seorang sarjana pasti tahu bahwa korupsi itu jahat, bagaikan virus yang akan merusak jaringan tubuh birokrasi yang berujung pada kelumpuhan. Birokrasi bukannya bekerja produktif memajukan bangsa dan melayani rakyat, melainkan hanya menghabiskan APBN untuk membayar gaji bulanan dan biaya proyek yang jadi kenduri para koruptor.

Kami bertanya-tanya.Apakah pendidikan yang salah, atau mental pejabat kita yang sangat rapuh, ataukah sistem dan kultur birokrasi kita yang ganas dan akan menggilas siapa pun yang bergabung? Saya tidak tahu persis apa jawabannya. Namun, yang pasti hari-hari ini serasa melihat mendung hitam menutupi dunia kampus.

Kita ingin suasana di luar kampus memberikan inspirasi dan motivasi kepada mahasiswa bahwa jalan terbaik untuk meraih sukses adalah belajar keras, menjaga integritas, dan mengembangkan keahlian serta keterampilan komunikasi. Tetapi sangat memilukan, yang selalu saja menjadi sumber pemberitaan adalah drama politik, berita korupsi, mafia hukum, dan dunia selebritis. Saya selalu membayangkan, setiap tahun berapa puluh ribu sarjana diwisuda di seluruh Indonesia.

Tetapi bersamaan dengan itu selalu muncul kepedihan dan pesimisme mengingat sarjana yang kualitasnya bagus dan mudah memperoleh lapangan kerja yang ideal pasti jumlahnya minoritas. Lebih menyedihkan lagi kalau ternyata lapangan kerja yang dimasuki kulturnya busuk. Bertahun-tahun belajar untuk meraih sarjana agar memperoleh lapangan kerja, tapi sampai di tempat kerja, godaannya terlalu berat.

Teori dan etika yang dipelajari di sekolah dijungkirbalikkan.Yang jujur malah terpinggirkan. Yang edan yang kebagian. Begitu pun bagi aktivis mahasiswa yang semasa di kampus menggebu - gebu antikorupsi, ketika bergabung ke parpol atau birokrasi secara drastis berubah perilaku dan gaya hidupnya. Mereka berbuat persis seperti yang mereka kecam ketika sebagai aktivis mahasiswa.

Ada juga aktivis mahasiswa yang sudah pintar bermain “proyek” dan keterampilan itu dilanjutkan setelah jadi sarjana dan aktif di parpol atau birokrasi pemerintahan. Yang paling membuat kesal tentu saja jika aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa, dan hakim, dengan seenaknya mempermainkan pasal undang-undang (UU) dan hukum sebagai medium untuk mengejar uang haram.

Langit hitam menutupi kampus. Serasa sia-sia menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang mahal kalau instansi lain malah merusak jerih payah guru dan dosen. Atau memang ada yang salah dalam sistem dan kultur pendidikan kita sehingga tidak melahirkan pribadi yang tangguh dengan keterampilan tinggi.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
selengkapnya - LANGIT MENDUNG DI ATAS KAMPUS

Saturday, November 1, 2008

PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Alqur'an)

Sekilas tentang PTIQ

Di kalangan qari-qari’ah, juga bagi mereka yang terlibat dalam MTQ, perguruan ini tentu tak asing lagi. Di samping namanya yang menyandang identitas Ilmu al-Qur’an, juga karena perannya yang cukup besar dalam pengembangan tilawah al-Qur’an di Indonesia. Banyak qari ternama yang lahir dari perguruan ini, sebut saja misalnya : H. Mu’ammar ZA, H. Nasrullah Jamaluddin, H.A. Muhajir, H. Mirwan Batubara, H. Muhsin Salim, H. Adli Azhari Nasution dan lain-lain. Belakangan juga banyak mufassir dan hafizh dari perguruan ini yang berhasil meraih kejuaraan dalam MTQ Nasional dan Internasional. Dan tidak hanya terbatas pada aspek MTQ saja, karena sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengkhususkan bidang al-Qur’an, perguruan ini pun mengembangkan bidang keilmuan maupun kemasyarakatan. Maka, untuk mengenal perguruan ini lebih lengkap, tulisan ini akan mengungkap tentang perkembangan perguruan ini dalam berbagai aspeknya.

Dari dan Untuk MTQ

Tak bisa dipungkiri bahwa Institut PTIQ lahir dari MTQ. Back-ground historis lahirnya MTQ bisa disimak bahwa dekade 50 - 60-an umat Islam Indonesia sedang gandrung dengan al-Qur’an. Di mana-mana muncul jam’iyyah qari dan hafizh al-Qur’an, seperti Nahdhatul-Qurra di Jombang, Wihdatul-Qurra’ di Makassar, Persatuan Pelajar Ilmu Qira’atil-Qur’an di Banjarmasin, Jam’iyyatul-Qurra di Medan, Jam’iyyatul-Huffazh di Kudus, serta berdirinya Jam’yyatul-Qurra’ wal-Huffazh tahun 1951 atas prakarsa KHA. Wahid Hasyim, Menteri Agama saat itu, yang pernah melaksanakan MTQ bertaraf nasional di Jakarta pada tahun 1954 dan di Surabaya tahun 1964. Saat dilaksanakan Konferensi Islam Asia-Afrika tahun 1965 di Bandung, diadakan pula MTQ Internasional. Dengan latar belakang itu, maka pada tahun 1968 diadakanlah MTQ Nasional I di Makassar. Pelaksanaan MTQ Nasional dan di daerah-daerah begitu semarak sebagai sebuah pesta rakyat yang bernafas keagamaan. MTQ juga memperoleh momentum karena secara politis saat itu Orde Baru sedang mencari dukungan umat Islam setelah mengganyang PKI sebagai golongan atheis. Maka seterusnya setiap tahun diadakan MTQ Nasional, berturut-turut di Bandung (1969), di Banjarmasin (1970), di Medan (1971), di Jakarta (1972), di Mataram (1973), di Surabaya (1974), di Palembang (1975), di Samarinda (1976), di Manado (1977) sampai yang terakhir MTQ Nasional XXI di Kendari tahun 2006.

Tepatnya PTIQ berdiri tgl. 1 April 1971. Ceritanya, dalam pembukaan MTQ Nasional III (1970) di Banjarmasin Presiden Soeharto mengatakan bahwa “al-Qur’an tidaklah cukup hanya dimusabaqahkan bacaannya, dan perlu dilakukan usaha ilmiyah untuk mengkajinya dalam rangka untuk mengamalkannya”. Menyambut himbauan Presiden tersebut serta demi mewujudkan cita-citanya, KH. Moh. Dachlan, Menteri Agama saat itupun berinisiatif mendirikan PTIQ ini untuk mempersiapkan kader-kader ulama al-Qur’an. Bersama dengan KH. A. Zaini Miftach, seorang hafizh al-Qur’an yang juga menjabat Direktur Penerangan Agama Islam, beserta Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, seorang ulama asal Bengkulu yang alumnus Universitas al-Azhar, beliau pada tahun 1970 telah membentuk Yayasan Ihya Ulumiddin yang kemudian menjadi badan hukum yang mendirikan dan menaungi PTIQ. Maka, mula-mula dibangunlah gedung bertingkat dua dengan gedung-gedung asrama mahasiswa serta sebuah masjid yang berlokasi di Pasar Jum’at, Jakarta Selatan. Dan calon-calon mahasiswa PTIQ direkrut dari seluruh Indonesia, setiap propinsi satu calon mahasiswa. Masing-masing daerah menseleksi calon mahasiswa, ada yang mengutamakan potensi qari dan ada yang mengutamakan aspek ilmiahnya. Maka berkumpullah saat itu mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Indonesia sebagai putra daerah terbaik yang kemudian tinggal di asrama, ditanggung segala kebutuhannya dan diberi beasiswa. Mereka siap dibina menjadi kader-kader ulama al-Qur’an. Pada saat upacara pembukaan PTIQ, KH. Moh. Dachlan mengungkap latar belakang berdirinya PTIQ, bahwa “saat ini dirasa sulit mencari tenaga ahli bidang al-Qur’an. Sementara banyak ulama yang telah wafat, dan penggantinya belum siap”. Karenanya, berdirinya PTIQ dengan tujuan mencetak kader-kader ulama yang sarjana dan hafizh al-Qur’an, sebagaimana universitas di Timur Tengah seperti al-Azhar, Mesir, Islamic University, Madinah dll. Suatu cita-cita yang prestisius untuk ukuran saat itu.

Rektor pertama PTIQ Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML (1971-1977) menggariskan program pengajaran PTIQ adalah menggabungkan model Universitas al-Azhar Mesir dan model pesantren. Mula-mula membuka Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin mempelajari beberapa mata kuliah yang diadopsi dari Universitas al-Azhar Mesir dan IAIN, di samping menekankan tahfizh al-Qur’an dan ‘ulum al-Qur’an, seperti tajwid, qira’at, rasm al-mushaf (Usmani), tafsir dan nagham (tarannum, lagu). Menurut beliau, PTIQ tidak diorientasikan kepada IAIN, bahkan mahasiswa tidak perlu mengikuti ujian negeri. Ini adalah konsekuensi dan konsistensi atas tujuannya untuk mendidik kader ulama, yang diharap dengan kualitas keulamaannya akan menjadi tokoh masyarakat yang harus mandiri.

Untuk pengembangan ‘ulum al-Qur’an, pada tahun 1972 dihadirkan guru besar dari Mesir, Syaikh Said Syarief, dan tahun 1975 Syaikh Abdul Qadir Abdul Azhim. Selain itu, juga memanfaatkan ulama ahli al-Qur’an dari berbagai daerah seperti KH. A. Zaini Miftach, imam besar Masjid Istiqlal, KH. Adzro’i Abdur Rauf, ulama al-Qur’an dari Medan dan KH. Tb. Mansur Makmun, ulama al-Qur’an berasal dari Banten. Dari kedua guru besar Mesir dan ulama itulah para qari PTIQ menimba ilmu qiraat dan nagham. Tausyikh sebagai acuan nagham yang kini tersebar di kalangan para qari mula-mula berasal dari kedua syekh tersebut yang kemudian disebarkan oleh mahasiswa dan alumni PTIQ.

PTIQ mulai memperlihatkan kehebatannya saat MTQ Nasional VIII di Palembang tahun 1975. Pada MTQ yang diikuti oleh seluruh juara-juara nasional sebelumnya itu, mahasiswa PTIQ asal Kalimantan Selatan, H. Nasrullah Jamaluddin, berhasil meraih juara pertama. Selanjutnya H. Mu’ammar ZA meraih juara pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, H. Mirwan Batubara pada MTQ Nasional XIII di Padang tahun 1983, dan H. Syarifuddin Muhammad pada MTQ Nasional XV di Bandar Lampung tahun 1988. Sedang H. Ahmad Muhajir, H. Rahmat Lubis, H. Adli Azhari Nasution dan H. Fauzi Ridwan meraih kejuaraan di Musabaqah Internasional di Mekkah, Saudi Arabia, serta H. Masrur Ikhwan adalah juara qari remaja pada MTQ Nasional XVIII di Jambi dan juara qiraat pada STQ Nasional di Mataram.

Begitu pula pada musabaqah hifzhil-Qur’an dan tafsir al-Qur’an banyak mahasiswa PTIQ yang berhasil meraih juara nasional dan kemudian mengikuti Musabaqah al-Qur’an Internasional di Mekkah, di Cairo, di Teheran atau yang lain. Mahasiswa PTIQ yang juara dalam hifzil-Qur’an antara lain : H. Quraisyi Ali, H. Imron Syuhada, H. Ishomudin, H. Thabri Thaha, H. Muslih Qurthubi dan yang belakangan H. Martomo yang kemudian meraih jura II pada Musabaqah al-Qur’an Internasional di Libya tahun 2006. Sedang yang berhasil sebagai mufassir antara lain : H. Hamid Ahmad, H. Dzul Fattah Yasin, H. Dimyathi Badruzzaman, H. Abu Alim Dzunnurain, H. Ilhamuddin Qasim, H. Abdurrahim Hasan, H. Husnul Hakim, H. Mu’tasim Billah, H. Hasanuddin Sinaga, dan H. Syahrir Ali Basya.

Selain banyak mahasiswa yang menjadi peserta dan kemudian menjadi juara, banyak pula dosen PTIQ yang terlibat sebagai pembina, pelatih dan sebagai hakim daerah maupun nasional. Mereka antara lain KH. Cuwailid Dja’far, MA, Drs. H. A. Muhaimin Zen, MA, Drs. H. Muntaha Azhari, MA, H. Amad Fathoni, MA di bidang hifzhil-Qur’an, juga Prof. Dr. Chatibul Umam di bidang kaligrafi. Para alumni PTIQ yang tersebar di daerah-daerah juga banyak yang terjun sebagai pembina, pelatih dan hakim, antara lain : Dr. H. Syar’i Sumin, MA dan. Drs. H. Asmini Maizan di Padang (Sumbar), Drs. H. Mahmud Lamalundu di Palu (Sulteng), Drs. H. Lalu Nurul Wathon di Mataram (NTB), Drs. H. Mukhlis Abdusshomad di Banjarmasin (Kalteng), Drs. H. Ridho di Jambi, H. Fauzi Ridwan di Bandung (Jabar), KH. Dzul Hilmi di Surabaya (Jatim), Drs. H. Ibrahim Asfari, SH dan Drs.H. Musytari, MPd di Surakarta (Jateng), Drs. H. Rasyid Tampibi di Manado (Sulut), Drs. H. Abubakar di Kepri, Drs. H. Syafruddin Jahri di Kaltim, Drs. H. Mursyid Qari di Palembang (Sumsel), Drs. H. Amin Husaini Zen dan Drs. H. Sualip di Banda Aceh (NAD), Drs. H. Ajid bin Thahir di Ambon (Maluku) dan lain-lain.

Peran Keilmuan dan Kemasyarakatan

Sejak tahun 1973 pengelolaan PTIQ dipindahkan kepada Yayasan Pendidikan al-Qur’an (YPA) yang didirikan oleh Dr. H. Ibnu Sutowo. Sebenarnya, yayasan yang berdiri tahun 1969 ini juga ingin mendirikan semacam PTIQ, tetapi karena ada kesamaan missi dengan Yayasan Ihya Ulumiddin sebagaimana komunikasi yang berjalan, maka YPA pada awalnya mengikut saja. Ketika KH. Moh. Dachlan digantikan oleh Prof. HA. Mukti Ali, YIU nampak menghadapi kesulitan dan kemudian dialihkanlah pengelolaan PTIQ kepada YPA. Dan kini, setelah Dr. Ibnu Sutowo wafat, maka kedudukannya sebagai Ketua Badan Pendiri digantikan oleh putranya H. Ponco Sutowo dengan Ketua Badan Pengurus Drs. H. Zacky Siraj. Institut PTIQ Jakarta yang eksis sekarang ini secara fasilitas berbeda dengan dulu. Sejak tahun 1982 mahasiswa tidak lagi terbatas pada utusan propinsi. Mereka juga tidak memperoleh fasilitas dan beasiswa seperti dulu. Fasilitas asrama dan beasiswa hanya diberikan kepada mahasiswa yang mengambil Program Tahfizh Penuh. Maka jumlah mahasiswanya pun bertambah banyak dengan program S1 pada empat fakultas : Syari’ah (jurusan Ahwalus-syakhsiyah), Ushuluddin (jurusan Tafsir Hadits), Tarbiyah (jurusan PAI) dan Dakwah (jurusan KPI).

Sesuai dengan identitasnya, kompetensi al-Qur’an sebagai ciri khas (distinction) menjadi keunggulan kompetitif (advantage competetion) yang diproritaskan. Hifzhil-Qur’an merupakan sine qua-non bagi mahasiswa PTIQ. Mereka tak bisa mengikuti ujian setiap smester (UAS) sebelum lulus hafalan al-Qur’an sesuai dengan target yang ditetapkan. Menurut Prof. Dr. KH. Chatibul Umam yang ikut membidani lahirnya PTIQ dan pernah menjabat sebagai rektor (1996-2004), bahwa “Hifzhil-Qur’an adalah ukuran yang paling kongkret atas penguasaan al-Qur’an. Dengan bekal hafal al-Qur’an, diharap mahasiswa akan melakukan pengkajian tafsir serta menggali kandungannya”. Bagi mahasiswa yang mengambil Program Tahfizh Penuh harus menyelesaikan hafalannya 4 (empat) juz setiap smester, dan sebelum ujian munaqasyah harus menyelesaikan ujian komprehensif tahfzih al-Qur’an 30 juz. Karena itu selain memperoleh gelar SAg mereka juga diberi gelar al-Hafizh, yang kemudian dipopulerkan dengan gelar SQ. Sedang mahasiswa yang mengambil Program Tahfizh Terbatas diwajibkan menghafal beberapa surat al-Qur’an sesuai dengan fakultasnya, misalnya Fakultas Syari’ah jurusan Ahwal as-Syakhsiyah harus hafal surah an-Nisa, at-Thalaq dan at-Tahrim, atau Fakultas Tarbiyah jurusan PAI harus hafal surah Alu Imran, Luqman dan az-Zumar.

Kompetensi al-Qur’an juga ditunjukkan dengan seperangkat mata kuliah ulumul-Qur’an dan tafsir di semua jurusan, seperti tajwid, nagham, qira’at, qawa’id tafsir, studi naskah tafsir dan tafsir actual. Pengajaran bahasa Arab juga lebih dintensifkan, yang meliputi nahwu, sharf dan balaghah. Bahkan untuk menambah kelancaran berbahasa Arab, PTIQ sekarang membuka kelas intensif Bahasa Arab bekerjasama dengan LIPIA Saudi Arabia di Jakarta. Dengan begitu semua mahasiswa PTIQ akan memperoleh bekal yang cukup untuk dikembangkan sebagai kader ulama al-Qur’an. Dan untuk mempersiapkan kader ulama al-Qur’an yang lebih matang, sejak tahun 1999 PTIQ membuka program S2 jurusan Tafsir al-Qur’an dan Manajemen Pendidikan Islam. Dan pada tahun ajaran 2006-2007 PTIQ ditunjuk oleh Departemen Agama sebagai pelaksana Program S2 khusus ‘Ulumul-Qur’an dengan mahasiswa yang diseleksi kemampuan Bahasa Arabnya karena perkuliahan memakai Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dan mereka diberi fasilitas beasiswa penuh.

Kehadiran PTIQ sejak tahun 1971 telah menghasilkan ratusan alumni yang kini tersebar di berbagai daerah dan pada profesi yang beragam. Kiprah PTIQ dan alumninya pun terasa dalam pengembangan masyarakat, terutama di bidang keagamaan dan al-Qur’an. Karena mayoritas alumni terjun dalam bidang keagamaan dan kequr’anan, ada yang menjadi kyai pengasuh pesantren, ustadz dan da’i, dosen dan ilmuwan, imam dan pengelola masjid-masjid besar, pengelola majlis ta’lim, pegawai pemerintah, politisi, wartawan dan ada juga yang menjadi pengusaha. Di antara mereka, sekedar menyebut contoh, KH. Dr. Noer Muhammad Iskandar, SQ, pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jakarta (memiliki 5 cabang), Drs. KH. Husen Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut-Tauhid, Cirebon, KH. Drs. Dimyathi Badruzzaman, pengasuh Pondok Pesantren Darus-Shalihin Depok, Dr. KH. Munif Suratmaputra pengasuh Pondok Pesantren Nuruz-Zahrah Depok, Drs. H. Umay Maryunani, MA, pengasuh Pondok Pesantren al-Ma’shum al-Mardhiyah Cianjur. Sedang yang terjun di bidang politik dan pernah atau sedang duduk di DPR/MPR ada Drs. H. Saifullah Ma’shum (PKB), Drs. H. Mujib Rahmat (Golkar), Drs. H. Imam Addaruqutni (PAN, sekrang PMB), Drs. H. Ghazali Abbas, Dr. H. Muzni Umar, Drs. H. Lalu Muhyi Abidin. Sedang mereka yang menekuni bidang keilmuan antara lain Dr. H. Syar’i Sumin yang menjadi Direktur STAIPIQ Padang dan dosen Universitas Andalas, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, pernah menjabat Purek I UIN Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta, Dr. KH. A. Munif Suratmaputra, Purek I IIQ Jakarta, Dr. H. Zuhroni, dosen Universitas YARSI Jakarta. Ada lagi beberapa alumni yang kini menjabat di lingkungan PTIQ sendiri, seperti Dr. HM. Darwis Hude, MSi (Purek II), Drs. H. Muntaha Azhari, MA (Purek III), Dr. H. Ali Nurdin, MA (Dekan Fak. Ushuluddin), Drs. H. Imam Daruqutni, MA (Dekan Fak. Syari’ah), H. Syamsul Bahri Tanrere, MA (Dekan Fak. Tarbiyah), Drs. H. Yasin Azhari (Dekan Fak. Dakwah). Beberapa alumni PTIQ kini juga sebagai imam di beberapa masjid besar di Jakarta, antara lain di Masjid Istiqlal (Drs. H. Syarifuddin Muhammad, H. Dzul Fattah Yasin, H. Muhasyim, SQ, H. Hasanuddin Sinaga, MA, H. Rofiuddin, SQ dan H. Martomo, SQ), Masjid Baiturrahim Istana Negara H. Ramli Massange, MA), Masjid al-Azhar (H. Ahmad Chotib, SQ), Masjid at-Tin (H. Masrur Ikwam, SQ, H. Syahrir Alibasya, SQ), Masjid YARSI Cempaka Putih (H. Uun Munir Ramdhan , MPd), Masjid Islamic Center, Masjid Raya Pondok Indah, Masjid Darul Adzkar Karang Tengah dan. Dalam publikasi ilmiah PTIQ menerbitkan Jurnal al-Burhan yang terbit secara berkala. Juga ada beberapa judul buku yang telah diterbitkan, antara lain al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan (1986), Tipologi Manusia Pembangunan dalam al-Qur’an (1988), Kaidah Qiraat Tujuh menurut Thariqah Syathibiyah (1991), Beberapa Aspek Ilmiah al-Qur’an (1996), Pancaran al-Qur’an terhadap Kehidupan Bernegara (1990), Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an (2001).

Memang sudah banyak yang diperbuat PTIQ untuk pengembangan al-Qur’an, tetapi masih banyak hal yang perlu dilakukan juga. Menurut Rektor PTIQ (2005 – 2009) Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, bahwa “dengan adanya otonomi daerah kini PTIQ perlu menjalin kerjasama dengan Pemda Propinsi atau Kabupaten dalam merekrut mahasiswa sebagai utusan daerah yang akan kembali berkiprah mengembangkan al-Qur’an di daerah-daerah. Selain itu, PTIQ akan berusaha untuk go internasional, menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga tingkat dunia dalam mengembangkan aspek akademik maupun penguatan kelembagaan.” Tugas membumikan al-Qur’an atau mengaktualisasikan pesan-pesannya di era globalisasi merupakan pekerjaan besar yang menuntut keseriusan serta dukungan semua pihak. Nampaknya, di beberapa daerah kini berdiri juga perguruan-perguruan al-Qur’an. Juga terbentuknya lembaga atau jam’iyah yang bergerak dalam bidang ini. Semoga terjalin kerja-sama antara semuanya sehingga usaha membumikan al-Qur’an dan membentuk masyarakat Qur’ani yang menjadikan al-Qur’an sebagai hudan, syifa’ wa rahmah segera terwujud di bumi Nusantara ini. Amin
selengkapnya - PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Alqur'an)